Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.
Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah :
Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro. Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.
Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat. Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.
Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.
Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.
Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin.
Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zalim dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa ?
Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.
Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.
Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.
Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.
Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana.
Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam.
Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulisbuku ‘Ad-Dimokratiyah fil Islam’. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.
Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.
Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengislamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan.
Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri. Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa.
Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam. Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam.
Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah:
Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.
Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.
Tujuan Dakwah kan Bikin Khilafah, Kenapa Bikin Partai?
sebagai umat islam kita diwajibkan untuk berdakwah.... sekarang yang jadi pertanyaannya dalam berdakwah kita harus mengutamakan apa? membentuk kekhalifahan terlebih dahulu atau mengajarkan kpada masyarakat tentang pentingnya ilmu dan amal islam....
Membentuk partai atau tidak sebenarnya adalah sebuah kesimpulan dari ijtihad fiqhiyah dan da`wiyah. Dan tentunya kalau pun hasil ijtihad itu menunjukkan perlunya membentuk partai, adalah merupakan bagian dari proses menuju pembentukan khilafah.
Nampaknya, ijithad itu berangkat dari realitas politik yang berlaku sekarang ini. Dan sedikit banyak, kelihatannya dengan berpartai, ikut pemilu, masuk parlemen dan masuk ke dalam sturktur pemerintahan, umat Islam bisa menerapkan hukum syariah yang menjadi tujuan utama dakwah sekecil apapun nilainya.
Tentunya kondisi ini tidak selamanya demikian. Sebab ada kondisi dan masa tertentu dimana keadaannya tidak se-ideal itu. Misalnya bila suatu negeri berada di bawah dominasi asing atau rezim yang represif sehingga kesempatan berpartai atau masuk parlemen dianggap tidak ada manfaatnya. Bahkan mungkin berdampak negatif. Dalam kondisi yang merugikan itu, tentu saja ijtihad jama`i tidak akan menghasilkan rekomendasi untuk membentuk partai politik atau masuk ke parlemen.
Dalam setiap kesempatan, para penanggung-jawab dakwah harus melakukan riset dan penelitian lapangan terus menerus dan selalu mengupdate bahan-bahan risetnya itu. Mereka bertanggung-jawab menentukan garis besar kebijakan dakwah di suatu tempat atau wilayah. Apakah strategi dakwah harus dengan cara rahasia dan diam-diam, ataukah sudah boleh terbuka. Apakah strategi dakwah sudah memungkinkan untuk melakukan penetrasi ke dalam sturuktur kekuasaan atau belum.
Semua ini memang tidak ditentukan oleh nash syar`i, melainkan oleh sebuah ijtihad jama`i dari para ahli ilmu. Baik dari sisi syariah, aqidah, politik, sosial, ekonomi dan seterusnya. Allah Subhanahu Wata`ala dan Rasulullah SAW menyerahkan masalah ini kepada syura dari umat Islam.
Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. As-Syura : 38)
Untuk kondisi yang memungkinkan penetrasi dakwah ke dalam sturktur kekuasaan, tidaklah dianggap setuju dengan sesuatu tidak berhukum dengan Islam. Justru penetrasi itu dalam rangka melakukan ‘islamisasi’ pemerintahan tersebut.
Dakwah bisa memanfaatkan isue demokrasi yang kini seolah dianggap bentuk ideal dari sebuah pemerintahan. Apalagi didukung dengan mayoritas penduduk yang muslim, maka tidak ada masalah untuk memanfaatkan isue demokrasi kalau pada kenyataannya adalah bahwa suara yang menang adalah suara terbanyak. Dan itu adalah suara umat Islam.
Justru bisa jadi kalau kita menggunakan istilah-istilah yang terlanjur dikesankan sebagai puritan, ekstrim, anti peradaban, akan melahirkan penolakan dari umat Islam sendiri. Suka tidak suka, itulah realitasnya di lapangan. Kita sedang berada di tengah umat yang pemahaman agamanya berbeda-beda. Ada yang awam sekali dengan Islam, padahal jauh di dalam hatinya ada segumpal iman. Dalam berdakwah kita boleh menggunakan bahasa yang bisa dipahami dengan mudah. Bukankah kita diperintah untuk berbicara kepada suatu kaum sesuai dengan kadar akal mereka?
Padahal intinya kan sama saja, kita ingin menerapkan syariat Islam di negeri ini tapi dengan menggunakan istilah yang untuk sementara dianggap lebih akrab di telinga mereka. Dan ini bukan hanya selogan belaka, melainkan diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Sikap jujur, amanah, adil, transparan, anti KKN dan seterusnya ternyata berhasil dicitrakan dengan baik oleh gerakan dakwah. Dan bangsa ini menjadi saksi betapa gerakan dakwah dengan membuat partai bukan hanya sekedar aksi-aksian belaka, tetapi menjadi sebuah trend terbaru dari generasi yang bersih.
Namun mungkin saja ada dari sebagian umat Islam yang kurang sependapat dengan ijtihad macam ini, itu terserah saja. Sebab setiap orang yang punya kualifikasi untuk berijtihad memang berhak berijtihad. Bahkan meski hasil ijtihadnya berbeda dengan saudaranya. Yang penting satu sama lain tidak saling mengejek, mencaci, mengganggu atau melecehkan. Bukankah para salafus shalih sejak dulu pun sudah sering berbeda pandangan ijtihad ? Namun mereka tidak saling bermusuhan. Karena bermusuhan dengan sesama saudara muslim adalah dosa dan perbuatan mungkar. Dan itu diharamkan Allah Subhanahu Wata`ala dalam Al-Quran Al-Kariem.
Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal : 46)
Al-qur’an surat al-mu’minun ayat 53 :
Artinya : Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah- belah menjadi beberapa pecahan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
Al-qur’an surat al-an’am :
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang berpecah belah dalam agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka, hanyalah (hanyalah teserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada apa yang telah mereka berbuat.
Maksudnya dari tiga ayat di atas kefanatikan mereka kepada pemimpin-pemimpin mereka dan sangat setianya kepada adapt istiadat mereka, sehingga mereka meninggalkan akidah tauhid yang murni dan ajaran-ajaran tuhan yang benar, semua itu menjadi tangungan mereka sendiri, sedang para nabinya tidak ikut bertangung jawab.
Jalasnya ormas-oramas atau orpol-orpol bila sifatnya demikian, maka tergolonglah pada kategori itu.dan orpol atau ormas yang selamat dari ancaman itu, ialah mereka yang tidak fanatik dan tidak mengkultus pemimpinnya, selamanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al- Hadits.
Rasulullah SAW. Bersabda :
Artinya : umatku akan pecah menjadi tujuh puluh tiga firqah (pecahan) semua akan memasuki neraka, kecuali satu firqah, yaitu mereka yang tetap atas apa yang aku beserta sahabatku melakukannya.
Kesimpulannya, bahwa umat manusia bila di datangi kebenaran (bayyinah) atau seorang rasul akan terpecah antara pro dan kontra, kaum kafir menuduh para nabi pemecah, tetapi Allah SWT. Menolak tuduhan itu dan menganggap kesalahan itu terletak pada mereka yang enggan menerima kebenaran, bahkan di tegaskan bahwa persatuan yang atas dasar kesatan dan kejahatan adalah berbahaya dan wajib dicegah.
Kita harus waspada, tetapi berani dan terus menerangkan yang benar, dan bertawashi, pesan memesan dengan haq dan sabar dalam perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar